Monisme: Perjalanan Menelusuri Magisnya Merapi

Kebayang nggak, gimana kalau ada film yang menampilkan gunung berapi sebagai tokoh utamanya? Kalau ekspresimu kaget sambil geleng-geleng kepala, kamu nggak sendirian. Sebagian besar dari kita kemungkinan mengekspresikan hal yang sama dan bisa aja malah nggak percaya kalau ada film seperti itu. Tapi ini beneran Guys, di film Monisme, Gunung Merapi adalah pemeran utamanya. 

Film Terbaik di Festival Film Terbesar Se-Asia Tenggara

Yup, kamu nggak salah baca. Monisme merupakan peraih Film Terbaik di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) 2023. Para juri JAFF menyatakan, bahwa mereka sepakat dalam mengapresiasi film tersebut, mereka mengagumi keberanian sang sutradara dalam bereksperimen dan dalam menggerakkan antara genre-genre serta jenis-jenis footage yang berbeda. Juri JAFF juga menyatakan kalau Monisme adalah sebuah cerita yang kompleks yang hanya bisa dituturkan melalui medium sinema, dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer

 

Film ini disutradarai oleh Riar Rizaldi yang juga berprofesi sebagai seniman. Ia berkarya melalui media gambar bergerak dan suara, baik dalam karya film maupun instalasi. Praktik artistik Riar, sebagian besar berfokus pada hubungan antara modal dan teknologi, pekerja dan alam, filosofi hidup, genre sinema, serta fiksi teoretis. 

 

Baca juga: 3 Alpha Female Yang Berani Lawan Teroris, Rizz!



 

Merepresentasikan Tiga POV

Nah, ketertarikan Riar pada pekerja dan alam dituangkan melalui film Monisme. Riar mencoba merefleksikan gagasan sebuah tempat yang menghubungkan berbagai jenis pekerja. “Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan (dan kemungkinan punahnya) manusia yang hidup di sekitarnya. Yang membuat Merapi menarik adalah adanya beberapa pekerja dengan ciri khas yang berinteraksi dengannya,” ceritanya. Jadi ini nih yang bikin Monisme merepresentasikan tiga sudut pandang dalam melihat Merapi, Guys! 

 

Kerja material dan manual diwakili oleh para penambang pasir di kaki Gunung Merapi, ahli vulkanologi mengilustrasikan cara kerja yang tidak material, dan masyarakat desa yang sebagian besar menganut Islam versi sinkretis (bersifat mencari penyesuaian antara dua aliran) dan mistisisme Jawa percaya bahwa ritual adalah bentuk kerja komunikasi antar manusia. “Dan, Gunung Merapi — sesuatu yang saya pahami sebagai pekerjaan spiritual,” ungkap Riar.

Minta Pendapat ke Gunung Merapi

Keunikan Monisme lainnya adalah cerita film ini dibuat bersama dengan orang-orang yang hidup di sekitar Gunung Merapi, orang-orang yang mempunyai filosofi hidup yang berbeda dengan kebanyakan dari kita. Tujuannya, supaya bisa memotret Gunung Merapi sebagai protagonis dengan menghadirkan cara pandang dari sisi sains, ekonomi (mata pencaharian) dan spiritualisme secara utuh di areanya. 

Saat itu, menurut Riar, film ini bisa jadi film fiksi, bisa jadi dokumenter, bisa jadi eksperimental, bisa jadi segalanya, atau bisa jadi bukan apa-apa. Tapi, itu harus menjadi praktik sosial, dan harus memerankan Merapi sebagai tokoh utama. Lalu, Riar dan timnya mulai bertanya kepada tiga orang yang hidup sehari-hari di sekitar Merapi yaitu: Pak Yulianto, Pak Suparno, Pak Juritno, dan Gunung Merapi (melalui Pak Juritno) “Apa pendapatmu tentang sinema?”

Iyaaa, lagi-lagi kamu nggak salah baca. Riar beneran menanyakan pendapat Gunung Merapi, melalui mediator bernama Pak Juritno, tentang sinema. Sepanjang proses pembuatan film, Riar dan timnya juga berusaha melibatkan Gunung Merapi sebagai partisipan aktif. Pak Juritno mengadakan ritual untuk menanyakan pendapat Merapi tentang sinema dan bagaimana film tersebut ingin digambarkan atau diciptakan. Melalui ritual ini, yang dimediasi oleh Pak Juritno, Merapi memberikan mereka rekomendasi bagaimana cara menggambarkan makhluk halus yang tinggal di gunung yang perlu ditampilkan dalam film.

Penasaran pingin lihat gimana Riar merepresentasikan pendapat dari Gunung Merapi itu ke dalam film, Guys? Langsung aja tonton Monisme sekarang! 

(Isma)

Bagikan artikel ini:

Rekomendasi

Monisme: Perjalanan Menelusuri Magisnya Merapi

Kebayang nggak, gimana kalau ada film yang menampilkan gunung berapi sebagai tokoh utamanya? Kalau ekspresimu kaget sambil geleng-geleng kepala, kamu nggak sendirian. Sebagian besar dari kita kemungkinan mengekspresikan hal yang sama dan bisa aja malah nggak percaya kalau ada film seperti itu. Tapi ini beneran Guys, di film Monisme, Gunung Merapi adalah pemeran utamanya. 

Film Terbaik di Festival Film Terbesar Se-Asia Tenggara

Yup, kamu nggak salah baca. Monisme merupakan peraih Film Terbaik di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) 2023. Para juri JAFF menyatakan, bahwa mereka sepakat dalam mengapresiasi film tersebut, mereka mengagumi keberanian sang sutradara dalam bereksperimen dan dalam menggerakkan antara genre-genre serta jenis-jenis footage yang berbeda. Juri JAFF juga menyatakan kalau Monisme adalah sebuah cerita yang kompleks yang hanya bisa dituturkan melalui medium sinema, dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer

 

Film ini disutradarai oleh Riar Rizaldi yang juga berprofesi sebagai seniman. Ia berkarya melalui media gambar bergerak dan suara, baik dalam karya film maupun instalasi. Praktik artistik Riar, sebagian besar berfokus pada hubungan antara modal dan teknologi, pekerja dan alam, filosofi hidup, genre sinema, serta fiksi teoretis. 

 

Baca juga: 3 Alpha Female Yang Berani Lawan Teroris, Rizz!



 

Merepresentasikan Tiga POV

Nah, ketertarikan Riar pada pekerja dan alam dituangkan melalui film Monisme. Riar mencoba merefleksikan gagasan sebuah tempat yang menghubungkan berbagai jenis pekerja. “Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan (dan kemungkinan punahnya) manusia yang hidup di sekitarnya. Yang membuat Merapi menarik adalah adanya beberapa pekerja dengan ciri khas yang berinteraksi dengannya,” ceritanya. Jadi ini nih yang bikin Monisme merepresentasikan tiga sudut pandang dalam melihat Merapi, Guys! 

 

Kerja material dan manual diwakili oleh para penambang pasir di kaki Gunung Merapi, ahli vulkanologi mengilustrasikan cara kerja yang tidak material, dan masyarakat desa yang sebagian besar menganut Islam versi sinkretis (bersifat mencari penyesuaian antara dua aliran) dan mistisisme Jawa percaya bahwa ritual adalah bentuk kerja komunikasi antar manusia. “Dan, Gunung Merapi — sesuatu yang saya pahami sebagai pekerjaan spiritual,” ungkap Riar.

Minta Pendapat ke Gunung Merapi

Keunikan Monisme lainnya adalah cerita film ini dibuat bersama dengan orang-orang yang hidup di sekitar Gunung Merapi, orang-orang yang mempunyai filosofi hidup yang berbeda dengan kebanyakan dari kita. Tujuannya, supaya bisa memotret Gunung Merapi sebagai protagonis dengan menghadirkan cara pandang dari sisi sains, ekonomi (mata pencaharian) dan spiritualisme secara utuh di areanya. 

Saat itu, menurut Riar, film ini bisa jadi film fiksi, bisa jadi dokumenter, bisa jadi eksperimental, bisa jadi segalanya, atau bisa jadi bukan apa-apa. Tapi, itu harus menjadi praktik sosial, dan harus memerankan Merapi sebagai tokoh utama. Lalu, Riar dan timnya mulai bertanya kepada tiga orang yang hidup sehari-hari di sekitar Merapi yaitu: Pak Yulianto, Pak Suparno, Pak Juritno, dan Gunung Merapi (melalui Pak Juritno) “Apa pendapatmu tentang sinema?”

Iyaaa, lagi-lagi kamu nggak salah baca. Riar beneran menanyakan pendapat Gunung Merapi, melalui mediator bernama Pak Juritno, tentang sinema. Sepanjang proses pembuatan film, Riar dan timnya juga berusaha melibatkan Gunung Merapi sebagai partisipan aktif. Pak Juritno mengadakan ritual untuk menanyakan pendapat Merapi tentang sinema dan bagaimana film tersebut ingin digambarkan atau diciptakan. Melalui ritual ini, yang dimediasi oleh Pak Juritno, Merapi memberikan mereka rekomendasi bagaimana cara menggambarkan makhluk halus yang tinggal di gunung yang perlu ditampilkan dalam film.

Penasaran pingin lihat gimana Riar merepresentasikan pendapat dari Gunung Merapi itu ke dalam film, Guys? Langsung aja tonton Monisme sekarang! 

(Isma)